Saturday, December 19, 2009

Alasan Hidup


Alasan Hidup


Pukul 5 lewat seperempat sore, aku buru-buru pulang dari gedung Mujahidin setelah menyelesaikan sebuah rekaman untuk dievaluasi esok pagi. Hujan begitu deras saat itu, petang sudah datang pertanda maghrib akan tiba. Aku teringat dengan jas hujan warna ungu yang rupanya tak kubawa. Selalu dengan pikiran yang sama yaitu menerobos hujan jika tujuannya memang pulang ke rumah, tidak kemana-mana, karena rumah menyediakan pakaian kering. Beda halnya kalau berniat pergi ke lain tempat, jika tak membawa jas hujan aku akan lebih memilih menunggu sampai hujan reda.


Kubuka kaca helm dan membiarkan jarum-jarum basah menerpa wajah serta turut membasahi jiwa yang membatu. Tepatnya hari itu aku main hujan-hujanan meski diatas motor bukan dijalanan seperti anak-anak yang kulihat. Menadahkan tangan kiri untuk merasakan lompatan rintik kemudian bernyanyi kecil lagu D’Masiv “Mohon Ampun Aku” sedang tangan kanan memegang stang motor. Sebenarnya tak ada cerita indah sore itu namun sepanjang perjalanan pulang ada perkataan seorang teman yang seketika kuingat.


“Kalau ribuan ton air hujan jatuh sekaligus pasti binasa manusia. Tapi Allah menurunkannya tetes demi tetes. Sering manusia menginginkan semua serba spontan dan kontan” katanya. 'Begitulah hidup, ia adalah proses. Namun ingat proses itu berjalan dua arah, ia bisa bergerak maju, atau berangsut mundur. Ia bisa beranjak naik atau merosot turun. Karena keyakinan adalah sistem yang terinstal dihati maka maju mundurnya tergantung bagaimana kita mengkondisikan hati” tambahnya lagi. Aku merasa benar-benar “ternasehati” dan mencoba belajar dari kalimatnya karena aku bukan seorang manusia yang bisa selama 24 jam full dengan kebaikan. Juga berfikir dan menyadari langkah-langkahku, hidup yang kunikmati sekarang tengah berjalan mundur. Ada yang sedang kuevaluasi disini, didalam diri.


Hidup terdiri waktu dan alasan untuk hidup. Adalah sia-sia bila menyusun hidup jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, tanpa menyadari alasan untuk hidup. Sama seperti tembok yang terbuat dari batu bata yang tidak disemen. Mudah goyah. Kesadaran ini yang kemudian muncul. Menciptakan dan melalui proses kearah maju juga bergantung pada alasan hidup. Seberapa kuat keyakinan akan alasan itu menjadi kekuatan pendobrak untuk melangkah maju.


Sebelum 1 Muharram esoknya, sore itu. Kubaca hujan yang luruh diujung jari. Banyak yang harus diperbaiki, dihati ini. Harus banyak lagi doa-doa yang kurangkai sebagai wajah cita-cita. Harus kutanam kuat alasanku menyambung hidup. Ditemani hujan, tubuh memang kedinginan namun hati kembali hangat.


Teman, apa alasan hidupmu?


Nb. Makasih buat Saifudin Abdullah.

0 komentar: