Sunday, November 22, 2009

Manusia- Manusia Sederhana



Manusia- manusia sederhana



Saya merasa bahagia karena disela- sela kehidupan Allah mempertemukan dengan beragam manusia tempat saya belajar banyak hal, kesederhanaan, optimisme, kebaikan, dan empati. Bahkan mungkin kesan yang mereka tinggalkan di lubuk hati saya melebihi itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah saya temukan pada setiap kisah hidup orang- orang disekeliling saya. Keluarga, sahabat, bahkan orang- orang yang tak saya kenal sebelumnya.


Seorang teman, gadis sederhana yang sering saya lihat dengan jilbab coklat muda berumur 4 tahun dibawah saya. Berperawakan kecil hitam manis, namun memiliki ketulusan yang mendalam. Ia adalah teman satu organisasi dulu ketika saya dan dirinya sama- sama aktif di BEM fakultas. Tanpa sungkan suatu hari ia menceritakan sepenggal kisah hidupnya pada saya disela-sela kesibukan kami. Sedari SD ia sudah dititipkan orangtuanya pada sebuah keluarga yang mengangkatnya sebagai anak. Sampai ia kuliah orangtua angkat yang membiayai semua keperluan. Hingga keadaan ini membuatnya berkesimpulan bahwa orangtua tak perhatian padanya. “Ibu kandung saya tak pernah sayang pada saya, kak.”ungkapnya dengan suara rendah dan mata berkaca. Saya hanya mampu diam mendengar.


Maka suatu hari dengan dana yang dikumpulnya beberapa bulan dari gaji mengajar privat ia bertekad untuk liburan ke Semarang, kampung halaman ibunya untuk bertemu nenek yang lebih dari 10 tahun tak pernah dijumpai. Bagi saya kepergiannya ini adalah sebuah keputusan besar karena ia pergi seorang diri tanpa pamit pada orangtuanya dan hanya berbekal nomor handphone paman yang selalu ia hubungi untuk memberi kabar setiap pergantian letak perjalanan hingga paman menjemputnya di Semarang. Sesampai di Semarang barulah ia berniat memberitahu ibunya tentang keberadaannya. Ia melakukan ini hanya untuk melihat reaksi orangtuanya, apakah masih perduli dan sayang padanya. Sedih hati saya mendengar penuturan cerita hidupnya.


Kisah lain saya temukan pada seorang adik tingkat kuliah. Laki- laki yang saya perkirakan umurnya hampir sama dengan saya, berkisar 24 tahun. Suatu hari tanpa sengaja kami bertemu di depan pintu ruang dosen dengan tujuan sama untuk bertemu dosen pembimbing skripsi. Sumringah senyumnya menyambut kehadiran saya, karena kami sudah cukup lama tak bertemu. Ia adalah salah seorang mahasiswa dengan program D3 ikatan dinas salah satu kabupaten. Saya mengenalnya karena di awal-awal semester saya pernah menjadi asisten praktikum mereka, kelas dinas tersebut.


Berawal dari pembicaraan kami tentang skripsi akhirnya ia bercerita tentang kesulitan dirinya dan salah seorang teman kuliahnya yang juga saya kenal. Ia bercerita tanpa memberi saya ruang untuk menanggapi, ceritanya mengalir begitu saja. Mempercayakan kisah kesulitannya untuk di simak oleh saya. Uang kuliah persemester sebesar kurang lebih 2juta begitu berat, orang tua pun tak mampu membiayai hingga membuat ia bersama temannya berjualan tempe. Sedang sesekali juga ia berkerja menjadi penyalur pengiriman ikan Ketapang- Pontianak.


“Sampai pada suatu malam teman saya menangis mbak, berkata pada saya kalau ia sudah tak mampu lagi membiayai kuliahnya, ia berhenti sampai D3 dan tidak melanjutkan S1” tuturnya sedih. “Namun, alhamdulillah sekarang teman saya tersebut sudah bekerja di laboratorium salah satu perusahaan sawit di Ketapang, mbak” tambahnya, membuat hati saya lega.


Mungkin itu hanya kisah Masih ada diantara mereka, manusia- manusia sederhana tempat saya belajar.Mereka yg sebenarnya orang biasa ternyata bisa menjadi tidak biasa. Bisa menjadi luar biasa. Bisa menjadi bagian catatan indah dalam sejarah hidup saya. Membuat saya lagi- lagi merasa bahwa maslah saya tidak lebih berat dari mereka. Mereka adalah cermin tempat kita mengaca. Tempat untuk bertanya tentang diri kita. Melihat diri kita.



Vitha,

Pontianak, 22 November 2009

0 komentar: