Wednesday, February 17, 2010

Menunggu Waktu Menjawab

Menunggu Waktu


Hari-hari terakhir aku berfikir tentang ini, “adalah sebuah ketidaknyamanan ketika hidupmu di atur oleh orang lain.”Walaupun di detik selanjutnya kalimat itu sudah kusanggah dengan kalimat lain, “Karena itu adalah resiko dari sebuah jalan yang kau pilih.” Ah, aku hanya seperti tak punya pilihan lain. Napasku sesak. Seperti keadaan ini: PANIK. Saat kau tiba-tiba terbangun di malam hari karena lampu kamarmu mati, dan kau butuh udara. Kau perintahkan paru-paru untuk menghirup udara, namun tenggorokanmu tertutup, diam, menyempit. Ke mana pun pandangan tertuju, kanan, kiri, atas, bawah, saat kau mengibaskan tangan di depan mata, kau tak bisa menangkap gerakan apapun. Udara seharusnya tidak padat dan kau ingin menggapai dengan tanganmu, menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan kecil, menjejalkan ke saluran nafasmu. Lalu apa yang bisa menenangkanmu?? Cahaya. Sesuatu yang menyala dalam kegelapan. Buka saja tirai jendela kamarmu akan sedikit terang karena sinar rembulan yang masuk kemudian cari korek api dan nyalakan lilin.



Tapi kini aku tidak sedang berada di kegelapan. Sebuah fajar dengan langit kelabu, pagi dengan mentari yang ramah, bertemu siang yang penuh cahaya matahari lalu malam dan lampu kamarku tidak mati. Aku punya udara yang cukup segar. Namun tetap saja aku masih merasa sesak, terutama pikiran karena tak bebas memilih inginku, tepatnya seperti itu. Aku perempuan yang bebas memilih, itu pikirku berkali-kali. Aku punya keinginan, aku punya hidup sendiri. Tapi kalimat-kalimat itu seakan berseberangan dengan pendapat yang juga kumunculkan, disisi lain aku membenarkan bahwa kalimat-kalimat itu salah dan seharusnya tak kubiarkan memenuhi kepala. Dua hal sedang berlawanan dan masing-masing ingin merajai hatiku. Dan kau tahu rasanya? Sebuah perasaan tak enak yang menghentak-hentak.



Perlahan-lahan aku mencoba memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang membahagiakan. Kubiarkan pikiranku melayang. Aku mendapatkannya:


Sisa perjalanan yang kuingat samara-samar, tahun lalu. Sebuah pagi. Menyusuri bibir pantai sendiri dengan santai, membiarkan kaki basah disentuh ombak lalu sesekali lari dari kejarannya. Tak menghiraukan kaki yang dilindungi kaos kaki penuh dengan pasir basah dan semilir angin yang mempermainkan jilbab. Menjatuhkan pandangan ke laut yang luas, melempar senyuman, dan bibir mengeluarkan banyak kalimat. Berjalan jauh hingga tak tendengar lagi tawa dan celoteh teman-teman yang menunggui pondok kecil tempat meramu dan menciptakan makanan. Kemudian sesaat memutar arah kembali ketempat semula setelah sinar pagi mulai menyengat, waktunya menikmati teh dan kue.


Kenangan itu tersimpan, indahnya serpihan masa lalu dengan sapuan warna cerah di atas kanvas kelabu kosong yang menyelimuti. Hingga aku menemukan kalimat terakhir ditengah resah ; “Biarkan waktu yang menjawab, biarkan Tuhan yang memilih yang terbaik untukmu. Dan kini belajarlah untuk menerima sesuatu yang berlawanan dengan hatimu”

0 komentar: