Ketika
sore (28/03) saya diminta bantuan untuk ikut
mengantar orang tua sahabat saya ke praktek fisioterapi. Sambil menunggu antrian terapi kami
menonton TV yang memang sudah dinyalakan di ruang tunggu. Petang itu channel berpusat
di salah satu stasiun televisi ternama dengan program berita. Tentu kebanyakan kita
sudah mengetahui kabar terhangat yang disajikan saat ini yaitu rencana kenaikan BBM terhitung 1 April.
Dalam program
tersebut ditampilkan tiga orang narasumber. Salah seorang dari perwakilan
komite mahasiswa, seorang perempuan dengan amanah sebagai kepala buruh yang
sehari sebelum bersama ratusan buruh juga turut melakukan aksi protes dan
terakhir dari pihak kepolisian (saya lupa beliau berpangkat apa).
Sambil terus menonton
dan menyimak pembicaraan antara ketiga orang narasumber yang didampingi dua
orang pembawa berita, ada yang pelan-pelan saya amati yaitu pembicaraan yang
sedikit bergeser dari gagasan antara mahasiswa dengan pihak kepolisian. Titik tekan mahasiswa tersebut menyayangkan sikap kepolisian yang memblokade jalan menuju
istana kepresidenan sehingga terjadi bentrokan. Saya tidak tahu apakah karena pertanyaan yang sengaja diajukan oleh pembawa berita untuk menggiring ke masalah “pemblokade-an”. Bagi
saya ternyata hal itu tidak jelas kemudian lama-lama membuat pembicaraan
menjadi kabur dari gagasan seharusnya yaitu “kenaikan BBM” (ini cuman pendapat
saya). Ditambah hal yang menggelitik adalah pemilihan nara sumber yang
bukan dari perwakilan pemerintah malah dari pihak kepolisian.
Kita sadari dalam merespon
berita setiap orang dapat berbeda-beda. Seperti halnya antara saya dan orang lain
saat itu. Satu orang bisa merespon dengan biasa saja atau orang lain
menyambutnya dengan histeria. Bisa juga sebaliknya. Kemudian saya tertarik
dengan pertanyaan pembuka tulisan Fakta
di Media oleh Edi Santoso seorang dosen dan master dalam bidang komunikasi,
“Sungguhkah hidup kita diatur oleh media massa?” Bisa jadi benar, tapi juga
mungkin tidak. Bagi kita yang terkesima dengan peranan media dominan sebagai
penyedia informasi pertanyaan itu mungkin akan kita anggap benar. Seperti sejak
bangun tidur langsung menyalakan televisi, membaca koran, membuka internet dan
lain-lain.
Media sebenarnya hanya menawarkan gagasan yang di kemas,
pembicaraan atau topik-topik yang diarahkan, termasuk dalam pemilihan
narasumber serta kemudian menambahkan hal-hal yang kadangkala tidak substansi, demi
tujuan “kepopuleran”. Selebihnya hak kita untuk menarik kesimpulan atas opini
atau berita yang disajikan. Selain itu keterbatasan media dalam menampung
berbagai pendapat dari luar.
Dan itulah mengapa kadangkala saya melakukan sedikit “diet” terhadap
informasi. Seperti lebih menikmati film kartun ketimbang menonton berita atau
membaca koran (hehe, pembenaran ya J) Kenapa perlu diet? Berita ditelivisi sering sama setiap pagi.
Masih seputar kriminalitas, korupsi, kompetisi dan pornografi. Dilanjutkan lagi
dengan infotainment, mengumbar aib makhluk yang jelas-jelas tidak penting
untuk masa depan penonton maupun pembaca. Media berkompetisi senjatanya opini.
Namun bukan berarti bersikap anti terhadap media. Tentu media
tetap penting untuk pengayaan ide juga menyambungkan kita pada peradaban hanya
saja ada benarnya untuk bersikap kritis dalam menilai, melihat, menakar terhadap
apa yang ditawarkan oleh media.
Wallahu’alam.
#maret
Vitha Civtany
Yolandary
2 komentar:
Saking kelewat percaya sama apapun yg diberitakan di tv n beberapa portal berita di internet, org kadang bisa jadi amat sangat soktau kak :-( suka over generalisasi sesuatu hanya berdasarkan apa yang mereka saksikan atau baca di berita. Padahal ada buanyak sekali fakta-fakta yg luput atau malah sengaja ndak diekspos tuh dari lensa kamera.
Mengerikan.
Setuju kak dengan program diet kk ^^
Betul, Din.
Namanya juga media, punya hak untuk menentukan opini/beritanya. Dari situlah kita belajar untuk tidak langsung responsif pada berita2 yg sensitif.
:)
Post a Comment