Wednesday, March 28, 2012

Kritis Terhadap Media





Ketika sore (28/03) saya diminta bantuan untuk  ikut mengantar orang tua sahabat saya ke praktek fisioterapi. Sambil menunggu antrian terapi kami menonton TV yang memang sudah dinyalakan di ruang tunggu. Petang itu channel berpusat di salah satu stasiun televisi ternama dengan program berita. Tentu kebanyakan kita sudah mengetahui kabar terhangat yang disajikan saat ini yaitu rencana kenaikan BBM terhitung 1 April.


Dalam program tersebut ditampilkan tiga orang narasumber. Salah seorang dari perwakilan komite mahasiswa, seorang perempuan dengan amanah sebagai kepala buruh yang sehari sebelum bersama ratusan buruh juga turut melakukan aksi protes dan terakhir dari pihak kepolisian (saya lupa beliau berpangkat apa).


Sambil terus menonton dan menyimak pembicaraan antara ketiga orang narasumber yang didampingi dua orang pembawa berita, ada yang pelan-pelan saya amati yaitu pembicaraan yang sedikit bergeser dari gagasan antara mahasiswa dengan pihak kepolisian.  Titik tekan mahasiswa tersebut menyayangkan  sikap kepolisian yang memblokade jalan menuju istana kepresidenan sehingga terjadi bentrokan. Saya tidak tahu  apakah karena pertanyaan yang sengaja diajukan oleh pembawa berita untuk menggiring ke masalah “pemblokade-an”. Bagi saya ternyata hal itu tidak jelas kemudian lama-lama membuat pembicaraan menjadi kabur dari gagasan seharusnya yaitu “kenaikan BBM” (ini cuman pendapat saya). Ditambah hal yang menggelitik adalah pemilihan nara sumber yang bukan dari perwakilan pemerintah malah dari pihak kepolisian.


Kita sadari dalam merespon berita setiap orang dapat berbeda-beda. Seperti halnya antara saya dan orang lain saat itu. Satu orang bisa merespon dengan biasa saja atau orang lain menyambutnya dengan histeria. Bisa juga sebaliknya. Kemudian saya tertarik dengan pertanyaan pembuka tulisan Fakta di Media oleh Edi Santoso seorang dosen dan master dalam bidang komunikasi, “Sungguhkah hidup kita diatur oleh media massa?” Bisa jadi benar, tapi juga mungkin tidak. Bagi kita yang terkesima dengan peranan media dominan sebagai penyedia informasi pertanyaan itu mungkin akan kita anggap benar. Seperti sejak bangun tidur langsung menyalakan televisi, membaca koran, membuka internet dan lain-lain.


Media sebenarnya hanya menawarkan gagasan yang di kemas, pembicaraan atau topik-topik yang diarahkan, termasuk dalam pemilihan narasumber serta kemudian menambahkan hal-hal yang kadangkala tidak substansi, demi tujuan “kepopuleran”. Selebihnya hak kita untuk menarik kesimpulan atas opini atau berita yang disajikan. Selain itu keterbatasan media dalam menampung berbagai pendapat dari luar.


Dan itulah mengapa kadangkala saya melakukan sedikit “diet” terhadap informasi. Seperti lebih menikmati film kartun ketimbang menonton berita atau membaca koran (hehe, pembenaran ya J) Kenapa perlu diet? Berita ditelivisi sering sama setiap pagi. Masih seputar kriminalitas, korupsi, kompetisi dan pornografi. Dilanjutkan lagi dengan infotainment, mengumbar aib makhluk yang jelas-jelas tidak penting untuk masa depan penonton maupun pembaca. Media berkompetisi senjatanya opini.


Namun bukan berarti bersikap anti terhadap media. Tentu media tetap penting untuk pengayaan ide juga menyambungkan kita pada peradaban hanya saja ada benarnya untuk bersikap kritis dalam menilai, melihat, menakar terhadap apa yang ditawarkan oleh media.


Wallahu’alam.

#maret
Vitha Civtany Yolandary


2 komentar:

Dini Haiti Zulfany said...

Saking kelewat percaya sama apapun yg diberitakan di tv n beberapa portal berita di internet, org kadang bisa jadi amat sangat soktau kak :-( suka over generalisasi sesuatu hanya berdasarkan apa yang mereka saksikan atau baca di berita. Padahal ada buanyak sekali fakta-fakta yg luput atau malah sengaja ndak diekspos tuh dari lensa kamera.

Mengerikan.

Setuju kak dengan program diet kk ^^

sisiungu said...

Betul, Din.
Namanya juga media, punya hak untuk menentukan opini/beritanya. Dari situlah kita belajar untuk tidak langsung responsif pada berita2 yg sensitif.

:)