Tamu Hati
” Apa keputusanmu?”
“Sudah tiga kali Bi Aini dan paman menanyakan perjodohanmu dengan Adam.”
“Masih bingung.” Aku memandang Ibu ragu.
“Ibu dan Bapak tak ingin memaksa.”
“Pikirkan baik-baik, kamu yang akan menjalaninya.” tambah ibu lagi sebelum meninggalkan kamarku.
Aku terdiam sejenak. Kalaupun akhirnya aku menolak perjodohan ini tentu harus dengan cara yang paling baik. Karena menyangkut hubungan dua keluarga dekat. Bi Aini adalah sepupu Bapak.
***
Lama sudah tak bertemu Adam. Sosok agak pemalu yang kukenal dari SD bahkan di tahun-tahun awal remaja. Ketika SMP dan SMA kami masih satu sekolah, pernah sekelas tapi tak pernah sekalipun akrab. Waktu SMA, Adam tergabung dalam grup band sekolah. Biasanya ia bersama teman-temannya nongkrong di kantin Bi Nonong lalu sembunyi-sembunyi mengepul asap rokok takut ketahuan guru.
“Bagaimana Vey? tanya tante Ririn, adik ibu yang paling ribut.
“Adam untuk Tante aja.” Aku tersenyum geli sembari membetulkan letak jilbab lalu meraih remote memindahkan saluran televisi.
“Hahaa…trus om Saiful?” ia yang duduk di sisi kiri menepuk pundakku.
“Apalagi yang kamu pikirkan? Danang yang sholeh itu juga kau tolak ”
“Namanya juga bukan jodoh.” Jawabku klise.
“Masalah pernikahan bukan hanya siapa yang akan menjadi suamimu, tapi juga bagaimana kamu mampu bertahan didalamnya, siapapun suamimu itu.” sambut Bapak tiba-tiba lalu bergegas pergi ke mesjid untuk sholat ashar.
Tak ada kata yang keluar dari mulut. Lama kupikirkan perkataan Bapak.
***
Sore dengan angin tak seberapa Aku termenung di kamar, bertanya-tanya apa yang membuat keluarga Bi Aini memilihku. Tak lama terdengar suara handphone.
“Maaf, Aku hanya tahu sedikit tentang kebaikan. Iya atau pun tidak jawabanmu, aku ingin berusaha menjadi seseorang yang lebih baik kini. Mohon doanya Vey.” sms bertulis nama Adam diakhir kalimat.
Di tengah gemuruh resah aku berpikir. Sedikit kepahaman, aku tak ingin memilih sembarang laki-laki.
“Beri waktu seminggu lagi untuk memutuskan.” kutekan reply.
Setelah beberapa kali istikharah, menimbang-nimbang lagi. Aku mengatakan langsung pada Adam lewat handphone.
“Hidup bagaikan bertamu ke rumah seseorang. Waktunya tidak lama. Aku berharap kita bisa saling mengingatkan untuk meninggalkan kesan yang baik kepada pemilik rumah, yaitu Tuhan, ketika tiba hari harus pergi.”
“Trus?”
“ Aku menerima perjodohan ini. ” keteguhan Adam untuk memperbaiki diri membuatku yakin.
“Alhamdulillah” ucapnya singkat.
***
Tiga bulan berlalu.
Tenda berbalut kain putih dan ungu sudah berdiri kokoh. Besok kami menikah. Namun selepas maghrib sebuah kabar menggempur dadaku. Adam kecelakaan ketika hendak mengantarkan undangan yang hampir terlupa ke salah satu temannya. Ia tertabrak sebuah mobil. Masih dalam keadaan bingung dan panik Aku dan Bapak menuju UGD, tempat Adam berada.
Bi Aini menyambutku dengan tangis. Kondisi Adam kritis. Dua jam kami menunggunya penuh gelisah. Kulantunkan zikir berkali-kali. Beberapa menit kemudian ia sadarkan diri lalu meminta beberapa anggota keluarga berkumpul.
“Tolong pilihkan Vey lelaki yang lebih baik dariku.” napasnya tersengal-sengal berbicara pada Bi Aini dan Paman.
Kemudian ia tersenyum agak lama memandangku yang berdiri di samping Bapak. Aku menyadari waktu demikian singkat kemudian Bapak membantunya mengucapkan syahadat.
Aku terduduk lemas. Ada buliran air mata yang tak mampu kubendung. Besok mestinya aku menjadi pengantin namun Tuhan berkehendak lain. Tamu hatiku telah pergi. Ada kesedihan mengepung hati.
Pontianak, 26 januari 2011
10 komentar:
endingnya rada2 mirip dengan salah satu bagian di novel KCB... mungkin bisa eksplorasi lebih dalam yah inge'
oh gitu ya bang,
saya ndak tahu ada rada2 mirip, he..
baiklah, terus berlatih :)
ciee.. ciee...
kenapa tendanya mesti berwarna "Putih dan Ungu" ya??
*kabuuuurr
ah, kaka lucu.
iseng2lah nambahin ungu, he..
ini naskah flash fiction max 500 kata yang pernah diikutkan lomba, temanya perjodohan gituu..
Hm, perjodohan?
kalo definisinya seperti itu ku masih kurang setuju.
Orang tua kan 'mempertemukan'dan keputusan terakhir ada ditangan sang calon pengantinnya.
Lebih prefer ke definisi seperti yang dialami oleh tante Siti Nurbaya dan om Samsul Bahri.
Tante Siti Nurbaya tidak bisa berkutik dengan keputusan orang tuanya untuk menerima pinangan Datuk Maringgi.
Ya, perjodohan itu ada unsur 'memaksa', didalamnya ada orang yang terpaksa melakukannya.
Bila keputusan akhir ada pada sang pengantin, itu bukan dijodohkan
melainkan diberi jalan atau dipertemukan.
sepakat?
Kalo menurut saya, ada paksaan atau tidak, tetap aja ini namanya perjodohan :)
btw, ngomongin urban legend Siti Nurbaya. Tau gak kenapa Siti Nurbaya tak bisa bersama Samsul Bahri selain karna unsur takdir dari Allah?
:-)
jujur belum baca novelnya, trus filmnya juga sepotong waktu kecil dulu liat. so, ga tau banyak si.
apa yang terjadi pada mereka?
dengan kata diawali dengan "di-" itu kata kerja pasif. 'dijodohkan' mengandung unsur subjek dan objek.
posisi seseorang menjadi objek disitu memberi peluang ada 'terpaksa'.
(maaf, soal kata jodoh, perjodohan, dijodohkan, cukup menyita perhatianku.
pengalaman pribadi,sejauh ini tergetir atas yang terjadi padaku.
artinya, kucoba memahami makna apa sebenarnya 'perjodohan' itu dan mana yang bukan).
karna Samsul Bahri hanya "menunggu" Siti Nurbaya di jembatan bukan dengan "menjemput" nya.
*sekedar iseng :)
jawaban cerdas!
Apakah hanya semudah 'menjemput' begitu saja?
Post a Comment