Bagi saya, sebagai ibu rumah tangga, memiliki rumah yang selalu beres "Sempurna" setiap hari adalah sesuatu yang menyenangkan. Masak beres, nyapu dan ngepel beres, nyuci piring beres, melipat pakaian beres, semuanya beres. Tetapi itu, jikalau ada orang lain yang mendampingi batita saya bermain saat saya menyelesaikan semua pekerjaan domestik. Memandikan pagi dan sore hari. Menyuapi sarapan, makan siang serta malam. Ayahnya? Kerja. Pergi pagi pulang sore. Kadang baru disaat weekend, kami berbagi peran menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Jadi karena pekerjaan rumah sebagian besar saya selesaikan sendiri banyak "intermezo" dari si batita yang juga butuh diperhatikan. Selain itu karena kebanyakan waktu dihabiskan bersama saya. Batita saya selalu ingin nempel terus sama ibunya. Ibunya ke dapur, ikuut. Ibunya ke ruang tamu, ikuut. Ibunya mau ke wc pengen ikut juga. Mengedor-ngedor pintu wc sambil nangis (horor😅)
Setelah sholat subuh, menjadwalkan masak. Baru selesai satu menu. Eh, dianya bangun lalu menangis. Karena ibunya sudah tidak ada di tempat tidur, sementara ia masih sangat mengantuk. Saya susul ke kamar agar dia bisa melanjutkan tidurnya. Kalau kurang tidur, moodnya menjadi tidak baik. Sepanjang menuju siang akan rewel. MasyaAllah 😁
Jika saya menyapu, ia ikut memegang tangkai sapunya. Batita ini memang punya keinginan explore yang besar dan cukup aktif. Apa saja yang ibunya lakukan, ia ingin tahu. Nah, kegiatan menyapu ini terpaksa saya tunda dulu, diselesaikan ketika ia tidur siang. Kasihan kalau debu-debu terhirup olehnya. Sehari saja saya perlu dua kali menyapu agar rumah tetap bersih. Itupun terkadang teras depan rumah terlewatkan untuk disapu. Belum lagi untuk pekerjaan selanjutnya. Setelah ia bangun belum tentu semua akan beres.
Oh, iya. Pernah suatu hari saya berandai-andai. Andai punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Tapi itu saya sesali. Harusnya sebaliknya, saya lebih punya banyak waktu bersama batita saya. Mendampingi tumbuh kembangnya. Memberikan banyak stimulasi dengan kegiatan sesuai usianya. Dll. Oleh karena itu tidak hanya karena alasan bosan dengan makanan yang dimasak sendiri, kadang-kadang satu atau dua hari saya lebih memilih memesan makanan lewat aplikasi go food. Menghemat waktu 😅.
Beberapa kali juga saat hanya berdua, sementara saya sibuk di dapur, saya biarkan ia ditemani gadget. Nonton youtube. Kontennya bagus sih, mendidik. Tapi usianya kan belum genap 2 tahun. Anak "kicik" ini belum dibolehkan. Saya meminimalisir ini terjadi berulang. Sambil masak, "nyambi" ngajak ia bermain masak-masakkan. Beberapa alat masak dikeluarkan dari lemari piring. Ya berantakan, tidak apa-apa cuma perlu sedikit waktu merapikan kembali setelah selesai urusan dapur.
Jadi belajar berempatilah wahai sesama ibu, jika kita bertamu ke rumah seseorang ibu, melihat rumahnya yang masih belum disapu atau piring kotor yang masih tergeletak. Jangan malah berucap, "kan di rumah aja, kok kerjaan nggak beres." Tanpa tahu kerepotan yang dialami si ibu yang punya rumah. Waduh, bikin dongkol. Mending pulang aja gih. 😅
Sunday, April 7, 2019
Saturday, July 26, 2014
Nulis lagi...
Menuju sore yang lengang.
Senang sekali rasanya bisa kembali menjentikkan jemari di
atas tust leptop. Lama sudah meninggalkan rumah sederhana ini. Dan saya teringat kalimat seorang teman bahwa setelah
menikah blog akan semakin jarang "diurus". Beberapa hal berubah dan nyatanya memang demikian
namun segalanya bukan karena hal tersebut, hanya saja selain kini telah menjadi IRT (seharusnya ini bukan alasan), bertambah pula kesibukan lain serta
leptop yang baru kembali dari negeri antah berantah, he...
Rindu, tentu saya sangat rindu. Sebab satu sisi,
mengungkapkan segala sesuatu dengan kata-kata itu melegakan. Setidaknya saya merasa begitu dekat dengan diri sendiri dan untuk berbagi sedikit hal yang menenangkan
bagi siapapun.
Dan btw, ada hal lain yang juga saya sadari. Sudah penghujung
Ramadhan rupanya. Semoga semakin banyak yang disyukuri. Semoga bertambah taqwa.
Semoga bertambah rindu padaNya. Maaf untuk kekhilafan yang pernah ada dari diri Saya, sisiungu :)
Pontianak, 26 Juli 2014.
Sisiungu, vcy.
Monday, December 16, 2013
Sepotong Ingatan
“Al-Qori’ah artinya apa?”
“Artinya hari selasa, Ustadzah!” suara
nyaring seorang anak serta merta membuat saya menahan tawa.
Ya, jawabannya tentu bukan itu.
Ya, jawabannya tentu bukan itu.
“Ustadzaah…” Cup. Mendarat kecupan
hangat dari bibir mungil si Kiran membuat saya menghentikan pembicaraan.
Seorang lagi menatap saya dengan
serius, “Adha mau jadi pilot. Kalau Ustadzah pergi dengan pesawat ke bandara
ya..” Tentu nak. Tak ada pesawat di terminal bus. Senang rasanya mendengar
salah seorang bercita-cita ini. Mungkin di lain waktu, saat saya mengajukan pertanyaan yang sama jawaban yang Adha
berikan bisa saja berbeda. Seperti kebanyakan kita ketika kecil.
Betapa bahagia bertemu dengan anak-anak dengan keramahan yang tidak dibuat-buat serta nikmat rasanya duduk bercengkrama dengan mereka, meski pada akhirnya hanya di posisi sebagai pendengar. Saya paham pastinya kami sama sekali tidak menyangka akan dipertemukan olehNya. Dibilangan waktu kemudian saya hanya merasa selalu ada pertalian kasih sayang Allah di setiap langkah, apapun itu.
Sepotong Ingatan. Semacam mencari
jejak di masa lalu. Ketika kecil apa saja yang kita ceritakan pada guru kita? Siapa
saja teman-teman yang lucu semasa itu?
Desember 2013,
VCY, sisiungu.
Monday, November 18, 2013
Jaga Suasana Hati
Kisah menarik dan sangat dalam ibrahnya..
Suatu hari, dua orang sahabat
menghampiri sebuah lapak untuk membeli
buku dan majalah.
Penjualnya ternyata melayani dengan buruk.
Mukanya pun cemberut.
Orang pertama jelas jengkel menerima layanan seperti itu.
Yang mengherankan, orang kedua tetap enjoy,
bahkan bersikap sopan kepada penjual itu.
Lantas orang pertama itu bertanya kepada
sahabatnya, “Hei. Kenapa kamu bersikap
sopan kepada penjual yang menyebalkan itu?”
Sahabatnya menjawab, “Lho, kenapa aku
harus mengizinkan dia menentukan caraku
dalam bertindak?
Kitalah sang penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain.”
“Tapi dia melayani kita dengan buruk
sekali,” bantah orang pertama.
Ia masih merasa jengkel.
“Ya, itu masalah dia. Dia mau bad mood,
tidak sopan, melayani dengan buruk, dan
lainnya, toh itu enggak ada kaitannya
dengan kita.
Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia
mengatur dan mempengaruhi hidup kita.
Padahal kitalah yang bertanggung jawab
atas diri sendiri.”
Sahabat, Tindakan kita kerap dipengaruhi
oleh tindakan orang lain kepada kita.
Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita
akan membalasnya dengan hal yang lebih
buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita
akan lebih tidak sopan lagi.
Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula
pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit
kalau harus berurusan dengan orang itu.
Coba renungkan.
Mengapa tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain?
Mengapa untuk berbuat baik saja, kita
harus menunggu diperlakukan dengan baik
oleh orang lain dulu?
Jaga suasana hati.
Jangan biarkan sikap buruk orang lain
kepada kita menentukan cara kita bertindak!
Pilih untuk tetap berbuat baik,
sekalipun menerima hal yang tidak baik.
“Pemenang kehidupan” adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar, serta tetap tenang di tengah badai yang paling hebat.
Suatu hari, dua orang sahabat
menghampiri sebuah lapak untuk membeli
buku dan majalah.
Penjualnya ternyata melayani dengan buruk.
Mukanya pun cemberut.
Orang pertama jelas jengkel menerima layanan seperti itu.
Yang mengherankan, orang kedua tetap enjoy,
bahkan bersikap sopan kepada penjual itu.
Lantas orang pertama itu bertanya kepada
sahabatnya, “Hei. Kenapa kamu bersikap
sopan kepada penjual yang menyebalkan itu?”
Sahabatnya menjawab, “Lho, kenapa aku
harus mengizinkan dia menentukan caraku
dalam bertindak?
Kitalah sang penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain.”
“Tapi dia melayani kita dengan buruk
sekali,” bantah orang pertama.
Ia masih merasa jengkel.
“Ya, itu masalah dia. Dia mau bad mood,
tidak sopan, melayani dengan buruk, dan
lainnya, toh itu enggak ada kaitannya
dengan kita.
Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia
mengatur dan mempengaruhi hidup kita.
Padahal kitalah yang bertanggung jawab
atas diri sendiri.”
Sahabat, Tindakan kita kerap dipengaruhi
oleh tindakan orang lain kepada kita.
Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita
akan membalasnya dengan hal yang lebih
buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita
akan lebih tidak sopan lagi.
Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula
pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit
kalau harus berurusan dengan orang itu.
Coba renungkan.
Mengapa tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain?
Mengapa untuk berbuat baik saja, kita
harus menunggu diperlakukan dengan baik
oleh orang lain dulu?
Jaga suasana hati.
Jangan biarkan sikap buruk orang lain
kepada kita menentukan cara kita bertindak!
Pilih untuk tetap berbuat baik,
sekalipun menerima hal yang tidak baik.
“Pemenang kehidupan” adalah orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar, serta tetap tenang di tengah badai yang paling hebat.
*copas dari fb Ummu Fahrian
Thursday, November 14, 2013
Cinta Seorang Lelaki Berkopiah
Pada Ramadan lalu saya ingat cinta seorang lelaki berkopiah kepada seorang perempuan muslimah mungkin perempuan terbaik dalam hidupnya.
Di masa sulit pemerintahan Soekarno, di suatu sore di bulan Ramadan, muslimah yang dicintai seorang lelaki berpeci itu menunggu kedatangan tukang susu murni.
Tukang susu langganannya biasa mengantar susu tiap sore pukul empat.
Sementara anaknya, yang rutin minum susu murni itu, biasa minum pukul lima sore.
Tapi pukul empat, setengah empat, pukul lima berlalu tukang susu tak kunjung datang.
Perempuan itu mulai panik. Waktu maghrib datang tukang susu baru tiba. Perempuan muslimah yang khawatir itu melangkah tergesa-gesa ke luar rumah. Mungkin akan marah-marah.
Cepat-cepat tukang susu mengeluarkan termos kecil dari tasnya, menyerahkan susu pesanan perempuan itu, dan meminta maaf. “Ada halangan di jalan,” katanya. Tukang susu kemudian buru-buru mohon ijin membatalkan puasa.
Tapi perempuan muslimah itu tidak marah-marah kita sudah salah sangka. Malah ditawarinya tukang susu untuk berbuka puasa bersama suami dan anak-anaknya.
Tukang susu menolak, mungkin segan. Apalagi ia baru saja bikin salah. Tapi barangkali kebaikan memang harus diperjuangkan: kalau menolak ke dalam, makan di teras saja.
Terjadilah kompromi. Atas buka gratis yang tak bisa ditolak hari itu, tukang susu berkata: “Terima kasih. Saya belum pernah menemui ibu yang sebaik Ibu.”
Setelah peristiwa itu tukang susu selalu datang lebih awal, sekitar pukul tiga sore, dengan susu perahan yang masih hangat—tapi, tentu saja, bukan ini yang penting.
Di sore Ramadan yang lain, bertahun-tahun setelah peristiwa tukang susu, sehabis perempuan itu menyiram bunga-bunga di halaman, seorang pedagang pisang berhenti.
“Permisi, Nyonya Besar,” katanya, “Tolong dibeli supaya saya bisa buka puasa dan buat ongkos saya pulang ke kampung.”
Perempuan itu mengamati tandan-tandan. Hanya dilihatnya pisang yang layu dengan kulit yang bocel-bocel. Mengerti kekurangan-kekurangan pisangnya, tukang pisang itu sekali lagi memohon dengan risau. “Saya jual dua sisir sepuluh ribu, Nyonya.”
Tapi transaksi belum terjadi ketika terdengar adzan maghrib. Tampak tukang pisang kebingungan.
Mungkin karena ia tak ada rupiah atau sekedar air putih buat membatalkan puasa.
Nyonya baik hati itu mengerti: ia menawarkan tukang pisang untuk membatalkan puasa sekalian makan bersama suami dan anak-anaknya di dalam rumah.
Tapi, sama seperti cerita tukang susu, tukang pisang merasa sungkan, “Saya minta air teh saja, jangan diajak masuk.” Perempuan itu tidak memaksa. Ia hanya meminta pembantu membawakan minum dan kolak pisang, beserta nasi dan lauk pauk sebagai makan malam tukang pisang.
Selesai berbuka dan makan malam sang nyonya membeli pisang dua sisir. Ia tak memborongnya. “Kalau saya semua nanti malah saya yang jadi tukang pisang,” perempuan itu bergurau. Ia memberi tukang pisang sepuluh ribu, ditambah lima belas ribu tambahan buat ongkos pulang naik angkot, bis, dan ojek.
Tentu saja kebaikan perempuan itu tidak hanya di rumah, dan tidak hanya kepada kaum yang sering membungkuk dalam-dalam tiap ketemu tuan dan nyonya besar seperti tukang pisang dan tukang susu dalam cerita di atas.
Tiap Ramadan, perempuan itu membuat daftar siapa-siapa kerabat yang akan dikunjungi. Ia tak pilih-pilih, entah itu kaya atau miskin.
Selama masih di Jakarta, bahkan kerabat yang rumahnya di tengah wilayah pelacuran pun didatangi. Ia tak peduli kata orang karena tak ada yang salah dengan silaturahim (saudaranya sampai menangis karena haru). Dan ia tidak mengharuskan yang lebih muda mendatangi yang tua semua sama, tak ada yang harus merasa paling layak untuk memulai.
Mungkin karena akhlak semacam itu, lelaki berkopiah yang mencintai perempuan muslimah baik hati itu menaruh hormat.
Lelaki itu, misalnya, menuruti saran sang perempuan agar dirinya tidak menerima pangkat mayor jenderal tituler dari pemerintah (wakil pemerintah dalam hal ini, waktu itu, Jenderal Nasution). Begitu pula saat lelaki itu ditawari menjabat Duta Besar RI di Arab Saudi.
Kekuasaan dan kelimpahan harta di depan mata, tapi perempuan yang selalu di sisinya bertanya: "Kalau sibuk, kapan waktu untuk mengaji Al-Quran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil, kapan waktu untuk membaca dan menambah ilmu pertanyaan yang bertaut pada akhirat."
Perempuan itu ingin lelaki yang mencintainya, yang dicintainya, memilih peran di sebuah masjid yang baru berdiri di dekat komplek rumahnya: Masjid Agung Al-Azhar. “Lebih terhormat dihadapan Allah,” katanya kita bisa membayangkan tatapannya yang lembut tapi yakin.
Dan lelaki itu menurut. Perempuan itu telah memberinya keteguhan hati: "Jangan-jangan ia memang tak butuh pangkat dan jabatan, jangan-jangan ada yang jauh lebih berharga ketimbang sejumlah rupiah dan sebuah posisi."
Maka saya ingat, setelah perempuan itu wafat, lelaki berkopiah itu selalu shalat sunnah dan berdoa jika ingat padanya —perempuan terbaik dalam hidupnya— dan kuat sekali lanjut membaca kitab suci sampai 5-6 jam sampai mengantuk, sampai 6-7 kali khatam per bulan. Ketika anaknya bertanya kenapa ia begitu rajin, sampai lembur mendoakan segala, lelaki itu berkata sesuatu yang memang tak mudah: “Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah.”
Saya ingat siapa lelaki yang mengajari kita tentang cinta dan aqidah itu: namanya Hamka. Dan perempuan itu: istrinya.
Akhlak istri adalah cerminan akhlak suami, kalau kata orang.
NB: Sebuah kisah yang mengharukan. Saya hanya memberi judul tulisan, selebihnya kisah utuh ini dari fun page Fb nya Aliya Imadudeen
VCY, sisiungu.
Sunday, October 13, 2013
Menjadi Lebih Baik
Benar, memperbaiki diri itu letih. Bahkan
memerlukan kegigihan yang terus menerus. Orang-orang diluar mungkin
hanya mengetahui nama kita, namun tidak sebetulnya mengetahui kisah
kita. Orang-orang mendengar apa saja yang kita perbuat tapi tak
sesungguhnya mengetahui apa yang telah kita capai. Meski begitu teruslah
berjalan menjadi lebih baik karenaNYA...
10 oktober 2013
VCY, sisiungu.
Sunday, September 22, 2013
Memetik Hikmah
Di masa lalu kita mungkin pernah
salah.
Dan barangkali kita sering
menerka-nerka sesuatu akan berujung sederhana namun pada akhirnya menjadi hal
yang kita anggap demikian rumit.
Di masa lalu barangkali kita
menyimpan beberapa impian kemudian seiring waktu kita sendiri yang
menenggelamkannya.
Di detik ini, aku terpikir
tentang banyak hal yang terjadi di masa lalu. Entah pada bilangan tahun yang
keberapa saja. Kala mengenang kesalahan yang tiba-tiba membuat jemari bergerak
ke sudut mata, menghapus buliran bening yang jatuh. Atau mengenang segala
sesuatu yang membuatku terus bersyukur hingga kemudian membatin, terima kasih
Allah betapa Engkau sangat baik.
Dalam tiap hela nafas kini.
Nyatanya banyak yang patut disyukuri setelah sebelumnya ada kekecewaan yang
menyelinap perlahan-lahan. Namun tahukah apa yang paling melegakan serta
membahagiakan dari semua itu? Yaitu saat rangkaian hari, tahun demi tahun setelah
masa itu akal dan hati memberikan perhatian penuh untuk memetik hikmah dari apa
yang Allah berikan, dari segala apa yang terjadi. Setulus-tulusnya. Dan semakin
memahami Allah menyusun rencana untuk menyampaikan pesan yang indah pada
hambanya yang berserah diri.
Pontianak, September 2013
VCY.
Sunday, June 30, 2013
Mengenangmu
Musim sudah berulang berganti. Angin bertiup pelan
dan langit terasa lebih dekat. Di malam yang benderang purnama sudah berpuluh
kali menunjukkan wajahnya menyongsong malam. Sedang sesekali aku masih saja
mengenang pada sepotong waktu saat sosokmu menyembul dari kerumunan orang-orang
di hari mendung kala itu.
Apa kabarmu? Apakah segala sesuatu berjalan
sebagaimana lazimnya? Terkenang pula persahabatan yang kau sodorkan dulu. Hangat
dengan keramahan yang tidak dibuat-buat. Kini berbilang waktu kemudian, kehidupan
yang datang pastinya kita tidak pernah menyangka akan alurnya yang kadang
berliku. Barangkali kita telah banyak memiliki semacam perjanjian pada diri
sendiri. Impian, jalan yang dilalui, hal-hal yang direncanakan untuk hidup, atau
bahkan kenangan yang terus disimpan.
Teman, betapa gegas waktu berlari. Aku percaya ada
banyak yang kita hadapi di luar kehendak. Namun semakin kepasrahan meninggi
semakin banyak rasa syukur memenuhi hati hingga kuat adalah satu-satunya
pilihan yang kupunya kini. Kurasa engkau pun demikian karena ingatan tentangmu juga
adalah tentang sikap keikhlasan pada ketentuanNya. Kebaikanmu yang tak pernah
hilang dari kedua belah mataku serta selalu ada kesabaran yang menenangkan yang
kau bagi. Terima kasih atas segalanya. Betapapun yang terjadi pada kehidupan
kita kini. Aku tak pernah ingin menyesalinya. Sebab rangkaian hidup juga adalah
gumpalan perubahan. Dan kita hanya perlu menyiapkan hati pada tiap perubahan
itu lalu memilih dengan cara apa kita menghadapinya.
Kau tahu mengapa aku menuliskan ini? Karena menulis
adalah salah satu cara menyimpan kenangan tentangmu atau menjelaskan tentang segala
sesuatu yang tak tersampaikan oleh lisan. Walaupun ada banyak hal yang perlu
kau ketahui. Namun akhirnya aku memahami, pada setiap persahabatan, ia adalah
titipan. Kita milikNya. Maka hanya kepadaNya kupinta penjagaan setiap waktu untukmu
kala tak pernah lagi ada sua dan percakapan. Kupinta agar hidup dilingkupi
keberkahan. Dan aku masih meminta, semoga hati dipenuhi dengan
rasa kasih sayang serta semoga IA mencintai kita.
Lalu berikutnya. Pada apapun
kehendak dan jalan yang kau pilih. Aku berharap kita masih berjalan
menuju ampunanNya. Meski kadangkala kenangan membuat
kubertanya, adakah kita masih termangu pada pikiran yang sama?
Pontianak, menuju akhir Juni
2013.
VCY, sisiungu.
Friday, April 12, 2013
Seharusnya
Kau tahu. Kadang
kala aku heran. Mengapa manusia sering saling menuding? Yang satu mengatakan
yang lain banyak salahnya. Yang lain bilang sebagian hanya bisa bicara . Adakah
jengah saat saling melemparkan kritikan. Lalu saat bahkan banyak diantaranya
tak bisa membantah, di sudut hati yang lain berteriak girang. Bertepuk tangan. Manggut-manggut dan
sepakat. Saling menjatuhkan.
Lama-lama
hal yang benar adalah kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang
sebaiknya kita lupakan. Dan apakah itu termasuk ukhuwah? Kurasa tidak.
Di sini,
sering kukatakan pada diri. Seharusnya. Makin banyak mendengar, semakin banyak
diam. Semakin banyak bicara, semakin banyak berbuat nyata. Namun sayangnya,
barangkali hati tak begitu mengenal cara itu.
Aku adakalanya lelah. Serta jauh sudah ingin meninggalkan jejak perbedaan
yang kerap membuat kita menelikung seolah menjadi musuh. Meski aku masih terus meminta
pada Nya agar mengirim kabar demi kabar supaya kelak kutemui oase bernama
syurga.
Pertengan
april. Kala musim semakin sulit ditebak. Matahari terang menyala kemudian
sewaktu-waktu dalam beberapa menit berubah redup. Dunia semakin menua. Aku kini berjanji pada diri sendiri bahwa seharusnya belajar mengikis hawa nafsu
dengan kelembutan hati, ilmu yang bermanfaat dan kemuliaan akhlaq.
April, 2013
VCY, sisiungu.
Subscribe to:
Posts (Atom)